Pelanggan bukan sekedar angka atau statistik. Di balik setiap keputusan pembelian mereka, ada emosi, harapan, & kebutuhan yang ingin dipenuhi. Tugas brand, adalah memahami & merespon kebutuhan tersebut dengan empati. Hari ini kita akan belajar 6 tips marketing dari Dale Carnegie. 6 poin tersebut juga merupakan kebutuhan utama manusia yang tak pernah berubah. Siap?
Key Takeaways
Ketulusan memainkan peran penting dalam membangun kepercaryaan. Pelanggan senang ketika merasa perhatian yang diberikan enggak sekadar upaya manipulasi, melainkan benar-benar untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Ini bakal selaras sama Reciprocity Principle, ketika seseorang mendapatkan kebaikan yang tulus, mereka cenderung membalas kebaikan tersebut. Apa balasannya? Macam-macam, bisa dalam bentuk apresiasi balik sampai ke level trust.
Poin pertama ini bisa dimulai dari hal paling sederhana dulu sebelum ke hal yang besar, contohnya praktisnya adalah menyapa nama audiens atau followers baru lewat DM Instagram. Kasih apresiasi ke mereka dan sampaikan ketertarikan kita terhadap preferensi mereka.
Berangkat dari hal simpel dulu, ya! Sisanya bisa kamu kembangkan.
Senyuman adalah elemen universal dalam komunikasi manusia. Meski sederhana, mampu mengubah suasana. Ngga percaya?
Coba ingat terakhir kali kamu terlibat dalam momen tegang, tapi tiba-tiba berubah menjadi lebih positif ketika ada seseorang mencairkan dengan senyuman. Karena percaya atau enggak, senyuman itu menular.
Dalam konteks brand, senyum bisa diwujudkan dalam bentuk:
Contoh penerapan barusan mungkin bakal lebih cocok untuk brand dengan archetype Caregiver. Tapi tenang, bukan berarti brand dengan archetype lain juga tak bisa tersenyum, kan?
Semua orang ingin didengar. Dan mendengarkan adalah seni yang diremehkan.
Menjadi sosok yang bisa mendengar akan punya posisi yang berarti di benak pelanggan. Mereka butuh sosok yang mampu mem-validasi kegelisahan mereka sebelum akhirnya mendengarkan orang lain.
Mendengar cukup jadi langkah yang efektif buat mengurangi Empathy Gap. Pernah denger istilah “Put Yourself In Other’s Shoes”? Yes, mendengar jadi pintu pertama untuk tau keresahan apa yang mereka alami, membuat brand dan audiens saling terhubung.
Dalam prakteknya, kamu bisa coba lakukan ini:
Contoh: Starbucks pernah mengadopsi ide menu baru dari pelanggan melalui program “My Starbucks Idea” di mana pelanggan merasa terlibat langsung dalam inovasi produk.
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada merasa dihargai dan diingat. Pelanggan ingin merasa bahwa mereka tidak hanya “membeli sesuatu” tapi juga “diingat”. Ini selaras dengan teori Abraham Maslow dalam Hierarchy of Needs pada level Love and Belonging.
Diingat juga bisa dipersepsikan bahwa mereka “cukup unik” dan bukan bagian dari massa, sampai-sampai sebuah brand mau dan mampu mengingat mereka. Ini akan menarik, karena di dunia yang makin penuh dengan informasi yang super cepet, menjadi yang diingat akan bikin mereka makin merasa spesial.
Dalam prakteknya, kamu bisa coba lakukan hal-hal ini:
Contoh: Spotify “Wrapped” akhir tahun untuk merangkum aktivitas musik setiap pengguna, membuat pelanggan merasa penting dan layak untuk diingat.
Mirip dengan point pertama tadi, ketika pelanggan merasa minat mereka dihargai dan didukung, mereka cenderung memberikan timbal balik dalam bentuk loyalitas atau tindakan positif lainnya.
Coba inget beberapa brand yang relevan sama apa yang jadi interest atau concern kamu tentang lingkungan hidup misalnya, ini akan bikin kamu lebih gampang tertarik dengan brand tersebut. Di level yang lebih ekstrem lagi, mungkin kamu akan ikutan salah satu program mereka.
Contoh penerapan poin nomor 5 ini bisa kamu temui di brand-brand seperti Patagonia, Startbucks dengan My Starbuck Idea-nya, Spotify dalam Wrapped-nya, Adobe dengan Behance-nya.
Yah, Akarmula yakin kamu juga bisa resonate dengan audiensmu dengan caramu sendiri.
Terakhir, pada dasarnya semua orang ingin didahulukan. Rasa aman akan muncul ketika seseorang merasa diprioritaskan. Ini juga searah dengan teori Abraham Maslow pada level Safety Needs.
Cara memberi sensasi prioritas juga bisa dalam bentuk yang ekslusif. Semakin ekslusif, semakin personal, semakin mereka merasa diprioritaskan. Contohnya?
Sesuai artinya, “prioritas” hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Pertanyaannya, siapa saja yang akan kamu jadikan prioritas nantinya?
Mengadopsi 6 tips marketing dari Dale Carnegie ini nggak hanya akan mengingatkan loyalitas pelanggan tetapi juga membangun brand yang lebih manusiawi. Mulailah dengan bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sebenaranya diinginkan pelangganku?”.
Dengan menggabungkan 6 hal tadi, brandmu bisa membangun dan menciptakan hubungan yang tidak hanya transaksional tetapi juga tansformatif.
Semangat, ya!