Pernah dateng ke sebuah party yang ramai, tapi pas ada yang manggil namamu kamu tetap bisa dengar? Dalam psikologi, fenomena ini dikenal dengan istilah Cocktail Party Effect. Nah, ngomongin ramai, dunia permarketingan kini juga udah super brisik. Di mana-mana audiens kena informasi—kebanjiran! Kalau gini, akhirnya kita akan menjumpai satu pertanyaan, bagaimana brand kita bisa didengar? Untuk itu, kita perlu munculin cocktail party effect dalam marketing.
Yuk kita bahas di artikel ini, lets go!
Secara sederhana, Cocktail Party Effect adalah kemampuan otak manusia untuk menyaring informasi dan fokus pada satu hal spesifik—meskipun sedang berada dalam situasi yang penuh distraksi.
Oke, kita bahas ini dulu ya—Karmin harap kamu sabar. Tahun 1950-an, seorang ilmuwan kognitif Inggris bernama Colin Cherry meneliti dinamika ruangan yang bising, ia menemukan sesuatu yang menarik. Otak kita memisahkan percakapan yang tumpang tindih dan keriuhan lingkungan menjadi aliran pendengaran yang berbeda. Kemudian, otak dapat memutuskan untuk mengabaikan informasi yang tidak relevan.
Misalnya, ketika kamu lagi ngobrol di tempat ramai, tapi tetap bisa menangkap suara seseorang yang menyebut nama kamu. Ini jadi bukti kalau otak kita, secara alami, memang jago banget memilih informasi yang dianggap penting dan “berarti.”
Dalam dunia marketing, konsep ini sangat relevan:
“nggak semua pesan akan didengar oleh semua orang.”
Maka, brand harus bisa jadi suara yang bermakna di tengah kebisingan informasi yang terus-menerus.
Setiap hari, konsumen—bahkan kamu—terpapar oleh ratusan/ribuan iklan. Ngga ada data pasti seberapa banyak rata-rata iklan yang kita lihat, bisa tergantung seberapa sering kita gunakan Google atau platform social media atau mobilitasmu yang bikin kamu makin sering terpapar iklan. Tapi yang pasti, dalam kondisi seperti ini, perhatian jadi komoditas yang sangat mahal.
Brand yang tidak punya strategi komunikasi yang kuat bisa tenggelam dalam kebisingan.
Kuncinya? Relevansi dan segmentasi.
Kalau brand kamu bisa menyampaikan pesan yang terasa personal dan mengena, maka audiens akan lebih mudah menangkapnya—seperti mendengar namanya sendiri di tengah keramaian.
Orang hanya akan menoleh kalau merasa “ini tentang saya”.
Di sinilah kekuatan personalisasi berperan besar—baik melalui pesan broadcast dari marketpalce, iklan digital/printed, sampai konten media sosial. Contoh sederhananya:
Ketika audiens merasa dilibatkan secara personal (ini tentang kamu, loh!), kemungkinan mereka merespons akan jauh lebih tinggi.
Satu pesan tidak bisa cocok untuk semua orang.
Kalau semua orang kamu sapa dengan cara yang sama, ya bakal kurang personal akhirnya.
Gunakan strategi segmentasi psikografis (gaya hidup, minat, kepribadian) dan behavioral targeting (berdasarkan perilaku mereka sebelumnya).
Misalnya:
Semakin spesifik, semakin kuat efek cocktail party-nya.
Udah jelas, ini era scroll cepat, visual & headline adalah senjata utama untuk menghentikan jempol.
Gunakan:
Contoh copy:
Konten yang mampu memancing respons emosional akan lebih mudah ditangkap oleh filter otak audiens.
Kamu sendiri ngerasain kan? Sadar atau engga kadang kamu bereaksi lebih cepat terhadap informasi yang terasa penting atau mendesak, kita takut ketinggalan.
Itulah kenapa strategi FOMO (Fear of Missing Out) dan urgensi masih sangat efektif.
Contoh penerapannya:
Informasi semacam ini membuat audiens merasa harus segera bertindak sebelum kehilangan momen.
Tentu banyak sekali contoh penerapan dari berbagai brand yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, Spotify yang terus-terusan ngasih kamu rekomendasi playlist lewat Daily Mix atau Discover Weekly. Belum lagi Tokopedia atau Shopee di hp kamu yang setiap habis searching sesuatu, kamu akan dapet recall dari mereka berupa message & notifikasi. Dari sini, beberapa hal bisa jadi catatanmu:
Sudah mulai ada gambaran? Terapkan strategi ini mulai sekarang!