Aristoteles mungkin nggak pernah bikin startup atau ngurus campaign, tapi warisannya masih relevan sampai sekarang. Tiga konsep retorika klasik—ethos (kredibilitas), logos (logika), dan pathos (emosi)—ternyata juga bisa jadi pilar membangun brand yang kuat.
Fender bisa jadi legenda meski pendirinya nggak bisa main gitar, Indomie sukses jadi comfort food lintas generasi, sampai Marjan yang tiap Ramadhan otomatis nyulap meja makan jadi ruang nostalgia. Semua itu bukan kebetulan. Mereka mainin tiga pilar ini dengan konsisten.
Kalau mau gampang, bayangin persuasi kayak pertunjukan wayang:
Nah, artikel ini bakal ngajak kamu bongkar cara Fender hingga Indomie membangun brand dengan ethos, logos, dan pathos. Jadi pastikan baca sampai akhir, ya!
Kalau kamu ngira kredibel ini berarti berasal dari orang yang emang jago dalam hal yang akan dia bikin, contoh di bawah ini justru enggak.
Leo Fender itu unik. Dia bikin gitar yang mengubah musik dunia, padahal dia sendiri nggak bisa main gitar.
Lho, kok bisa?
Jawabannya: lewat feedback langsung dari musisi. Di toko radionya—yang dibuka tahun 1938—Fender bukan cuma benerin radio, tapi juga jadi pusat musisi kumpul buat cari ampli. Mulai dari situ, Fender denger banyak curhatan musisi akhirnya inovasi lahir.
Telecaster jadi gitar pertama yang disempurnakan, ini hasil denger feedback kalau musisi sebenernya butuh gitar yang mudah dipegang, disetel, dan dimainkan. Keterusan, akhirnya Fender bikin satu model lagi yang juga jadi legend, yaitu Stratocaster.
Ethos Fender lahir bukan dari gelar keren, tapi dari kemampuan merespons kebutuhan yang reel (beneran ada).
Mirip kayak Gojek. Nadiem Makarim nggak pernah ngaku “ahli transportasi.” Tapi dia ngerti satu keresahan: capek cari ojek di pangkalan, apalagi hujan + macet. Solusinya terbukti nyata & jadi kredibel dalam satu hal yang dia bangun.
Learning point!
Kredibilitas itu bukan soal siapa kamu di atas kertas, tapi apa yang kamu lakukan di lapangan.
Kalau ethos bicara soal “siapa yang dipercaya,” maka logos bicara soal “masuk akal ngga nih?”
Aristoteles pakai kata ini buat menunjuk pada kekuatan argumen rasional: fakta, struktur, dan logika yang bikin orang merasa “oh iya, make sense juga ya.”
Nah, dalam branding, logos itu bukan melulu soal data kaya klaim teknis atau angka. Logos adalah logika praktis yang juga dirasakan konsumen: produk ini gampang dipakai nggak? Harganya relevan? Outputnya oke?
Baru setelah fondasi logis ini kuat, promosi bisa bertahan lebih lama.
Fender buktiin kalau gitar buatannya bukan yang paling fancy, tapi yang paling praktis—mudah diproduksi massal, gampang diperbaiki, dan reliable buat manggung.
Contoh lokalnya mungkin Indomie.
Formula mereka sederhana tapi brilian: murah, cepat dimasak, rasa segambreng, bisa jadi darurat meal atau comfort food. Itu logika sehari-hari yang semua orang paham, nggak perlu pitch deck ribet.
Anggap aja logos itu kayak tulang punggung wayang. Nggak kelihatan bling-bling, tapi coba bayangin wayang tanpa rangka? Jadi kain lemes doang. Sama kayak brand tanpa sistem logis, campaign bisa viral, tapi operasionalnya ambrol.
Kalau logos itu tulang, pathos itu gamelan. Dialah yang bikin penonton terbawa rasa.
Lihat Fender: begitu dimainkan Hendrix, gitar itu berubah jadi simbol kebebasan, pemberontakan, bahkan identitas sebuah generasi. Itu kekuatan pathos, emosi yang jadi bumbu & lebih kuat daripada spesifikasi gitarnya.
Contoh lokalnya itu sirup Marjan.
Rasanya mungkin biasa aja kalau diminum random di bulan September. Tapi begitu masuk Ramadhan, tiap kali lihat botolnya, langsung muncul perasaan: buka puasa, kebersamaan keluarga, nostalgia masa kecil.
Padahal secara logos, sirup lain juga manis dan warnanya cantik. Tapi pathos Marjan bekerja jauh lebih dalam. Sirup yang berubah jadi ritual emosional yang bikin suasana Ramadhan atau Lebaran terasa lengkap.
Inilah bukti bahwa emosi bisa bikin brand jadi “ikon budaya”.
Coba bayangin wayang tanpa salah satu elemennya:
Fender bisa jadi legenda karena mainin ketiganya bareng. Begitu juga brand di Indonesia:
Dari toko radio kecil milik Leo Fender, mie instan sederhana ala Indomie, sampai sirup Marjan di meja makan Ramadhan, semuanya nunjukin hal yang sama: brand besar lahir bukan karena gimmick sekali jadi, tapi karena mainin tiga pilar ini secara konsisten. Mereka membangun brand dengan ethos, logos, dan pathos.
Ethos bikin orang percaya. Logos bikin orang merasa masuk akal. Pathos bikin orang terhubung secara emosional.
Kalau ada yang hilang, brand gampang goyah. Tapi kalau ketiganya nyatu? Bukan cuma produk yang laku, tapi bisa jadi bagian dari budaya.
Jadi, mungkin pertanyaannya bukan “harus pilih Ethos, Logos, atau Pathos?”
Tapi lebih ke: “gimana caranya bikin ketiganya harmonis supaya brand kita bisa relevan, dipercaya, dan dikenang?”