fbpx

De-Positioning Strategy: Cara Rebut Audiens Kompetitor

August 15, 2025

Todd Irwin dalam tulisannya De-Positioning Mastery: How to Outperform the Competition ngajarin satu trik branding yang kedengarannya sederhana, tapi efeknya bisa bikin kompetitor garuk-garuk kepala. Namanya de-positioning strategy.

Tapi jangan salah paham, ini bukan jurus “black campaign” yang bikin pesaing jatuh, melainkan seni menggeser perhatian konsumen ke keunggulan kita sendiri. Bahasa gampangnya: bikin konsumen sadar, “Eh, kok yang itu nggak nyampein yang aku butuhin ya? Kayaknya merek ini lebih nyambung sama masalahku deh.”

Kuncinya ada di hero pain point—satu kebutuhan besar yang belum benar-benar dipenuhi kompetitor. Kalau bisa jadi satu-satunya solusi yang works, brandmu akan terasa sebagai “jawaban logis” yang konsumen nggak perlu pikir dua kali.

Apa Itu De-Positioning?

Kalau positioning adalah seni menempatkan brand di benak konsumen supaya terlihat relevan, maka de-positioning adalah seni menggeser perhatian konsumen dari kompetitor ke arah kita—tanpa harus menjatuhkan mereka secara frontal.

Bedanya dengan “menyerang kompetitor” biasa adalah: de-positioning bukan soal membuktikan mereka buruk, tapi membuktikan kita jauh lebih relevan.

Ibarat main padel, kamu ngga perlu sibuk menyoroti kesalahan lawan, tapi fokus memukul bola ke area lapangan yang mereka susah jangkau.

Strategy De-Positioning

Irwin cerita, agensi pertamanya bisa menggaet klien besar seperti Nikon dan Coca-Cola bukan karena punya kantor mentereng atau karyawan bersetelan jas. Justru mereka memposisikan diri sebagai young and vicious—agile, kreatif, dan nggak kemakan birokrasi.

Agensi-agensi besar waktu itu memang keren, tapi kalau untuk proyek yang butuh gerak cepat, mereka kayak gajah main balet—indah sih, tapi kelamaan muternya.

Contoh dari ngga nyari kesalahan tadi adalah, Apple dengan Siri-nya. Mereka tahu Siri kadang bikin pengguna curiga Siri ini sebenarnya undercover agent dari planet lain karena suka salah dengar. Tapi bukannya sibuk bela Siri, Apple fokus menguatkan posisi mereka sebagai “pelindung privasi”. Otomatis, Google dan Amazon yang doyan ngulik data pengguna jadi kena sindir halus tanpa disebut nama.

Brand yang Masih Tumbuh Bisa De-Positioning?

Jawabannya: bisa, malah bisa lebih efektif.

Yang dimaksud brand yang masih tumbuh adalah:

  • Belum menjadi market leader, tapi punya diferensiasi yang jelas atau sedang membangunnya.
  • Tahap pertumbuhan masih awal hingga menengah — misalnya usia brand 1–7 tahun atau baru mulai ekspansi.
  • Modal & sumber daya terbatas, sehingga setiap langkah komunikasi harus diarahkan untuk menciptakan dampak besar tanpa biaya promosi yang boros.

Untuk brand seperti ini, de-positioning bisa jadi senjata strategis karena:

  1. Tidak harus menguasai seluruh pasar — cukup menciptakan persepsi bahwa Anda adalah pilihan yang lebih relevan untuk segmen tertentu.
  2. Biaya awareness lebih efisien — fokus pada perbedaan yang berarti, bukan membangun pesan generik seperti pemain besar.
  3. Bisa memanfaatkan kelemahan pemain lama yang sering terlalu nyaman di zona aman dan jarang berinovasi.

De-Positioning itu Nyambung dengan 4 Marketing Warfare

Strategy de-positioning ini nyambung banget sama konsep empat jenis perang dalam marketing yang Al Ries & Jack Trout bahas di Marketing Warfare.

Kalau kita kaitkan, de-positioning untuk brand yang masih tumbuh itu paling relevan sama dua jenis perang berikut:

  • Flanking Attack
    • Intinya menyerang dari sisi yang diabaikan atau lemah dari market leader.
    • Cocok buat brand yang susah menang lewat head-to-head (frontal) karena keterbatasan sumber daya.
    • De-positioning di sini berperan untuk memindahkan “permainan” ke arena baru di mana kita punya keunggulan.
    • Contoh: Sayurbox — mereka nggak jual semua jenis belanja harian kayak supermarket, tapi fokus di fresh produce langsung dari petani.
  • Guerrilla Warfare
    • Fokus ke segmen yang sangat kecil tapi sangat loyal.
    • Bikin persepsi bahwa brand kita “lebih cocok” untuk mereka dibanding pemain besar yang cenderung serba generik.
    • De-positioning di sini membantu membentuk narasi: “Kami hadir untuk orang-orang sepertimu.”

Cara Praktis Menerapkan De-Positioning

  1. Cari hero pain point Dengarkan feedback pelanggan, gali masalah yang kompetitor belum beresin.
  2. Pelajari kelemahan kompetitor Apakah mereka lambat? Kurang konsisten? Nggak transparan?
  3. Fokus pada satu ide diferensiasi Jadikan itu positioning utama di semua kanal—dari website sampai pelayanan.
  4. Libatkan semua lini bisnis Nggak cuma marketing. Produk, harga, layanan—semuanya harus “ngomong” hal yang sama.

Waspada: Jangan Jadi Brand “One Trick Pony”

Punya satu keunggulan memang oke, tapi kalau semua bertumpu di situ, rawan juga. Ibarat warung yang terkenal karena satu menu, kalau bahan utamanya habis, bubar.

Solusinya:

  • Punya beberapa keunggulan pendukung di balik satu strategi utama.
  • Bangun cerita pendukung agar tetap relevan walau pasar berubah.

Closing

Jadi de-positioning itu ibarat main catur: kita nggak perlu makan semua bidak lawan, cukup bikin raja mereka nggak punya langkah.

Kalau mau ngobrolin ini lebih dalam, tim Akarmula siap kasih free discovery call 60 menit buat bedah posisi brand Anda. Atau kalau mau riset dulu, silakan mampir ke akarmula.id —banyak insight dan studi kasus yang bisa jadi inspirasi.

Ingat: di era informasi berlimpah, konsumen udah males dengan janji mana yang paling keras, tapi solusi paling pas. Karena pada akhirnya, yang diingat orang bukan siapa yang pertama ngomong, tapi siapa yang pertama nyelesain masalahnya.

More Insights

All Right Reserved © 2025 Akarmula
arrow-down
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram