Todd Irwin dalam tulisannya De-Positioning Mastery: How to Outperform the Competition ngajarin satu trik branding yang kedengarannya sederhana, tapi efeknya bisa bikin kompetitor garuk-garuk kepala. Namanya de-positioning strategy.
Tapi jangan salah paham, ini bukan jurus “black campaign” yang bikin pesaing jatuh, melainkan seni menggeser perhatian konsumen ke keunggulan kita sendiri. Bahasa gampangnya: bikin konsumen sadar, “Eh, kok yang itu nggak nyampein yang aku butuhin ya? Kayaknya merek ini lebih nyambung sama masalahku deh.”
Kuncinya ada di hero pain point—satu kebutuhan besar yang belum benar-benar dipenuhi kompetitor. Kalau bisa jadi satu-satunya solusi yang works, brandmu akan terasa sebagai “jawaban logis” yang konsumen nggak perlu pikir dua kali.
Kalau positioning adalah seni menempatkan brand di benak konsumen supaya terlihat relevan, maka de-positioning adalah seni menggeser perhatian konsumen dari kompetitor ke arah kita—tanpa harus menjatuhkan mereka secara frontal.
Bedanya dengan “menyerang kompetitor” biasa adalah: de-positioning bukan soal membuktikan mereka buruk, tapi membuktikan kita jauh lebih relevan.
Ibarat main padel, kamu ngga perlu sibuk menyoroti kesalahan lawan, tapi fokus memukul bola ke area lapangan yang mereka susah jangkau.
Irwin cerita, agensi pertamanya bisa menggaet klien besar seperti Nikon dan Coca-Cola bukan karena punya kantor mentereng atau karyawan bersetelan jas. Justru mereka memposisikan diri sebagai young and vicious—agile, kreatif, dan nggak kemakan birokrasi.
Agensi-agensi besar waktu itu memang keren, tapi kalau untuk proyek yang butuh gerak cepat, mereka kayak gajah main balet—indah sih, tapi kelamaan muternya.
Contoh dari ngga nyari kesalahan tadi adalah, Apple dengan Siri-nya. Mereka tahu Siri kadang bikin pengguna curiga Siri ini sebenarnya undercover agent dari planet lain karena suka salah dengar. Tapi bukannya sibuk bela Siri, Apple fokus menguatkan posisi mereka sebagai “pelindung privasi”. Otomatis, Google dan Amazon yang doyan ngulik data pengguna jadi kena sindir halus tanpa disebut nama.
Jawabannya: bisa, malah bisa lebih efektif.
Yang dimaksud brand yang masih tumbuh adalah:
Untuk brand seperti ini, de-positioning bisa jadi senjata strategis karena:
Strategy de-positioning ini nyambung banget sama konsep empat jenis perang dalam marketing yang Al Ries & Jack Trout bahas di Marketing Warfare.
Kalau kita kaitkan, de-positioning untuk brand yang masih tumbuh itu paling relevan sama dua jenis perang berikut:
Punya satu keunggulan memang oke, tapi kalau semua bertumpu di situ, rawan juga. Ibarat warung yang terkenal karena satu menu, kalau bahan utamanya habis, bubar.
Solusinya:
Jadi de-positioning itu ibarat main catur: kita nggak perlu makan semua bidak lawan, cukup bikin raja mereka nggak punya langkah.
Kalau mau ngobrolin ini lebih dalam, tim Akarmula siap kasih free discovery call 60 menit buat bedah posisi brand Anda. Atau kalau mau riset dulu, silakan mampir ke akarmula.id —banyak insight dan studi kasus yang bisa jadi inspirasi.
Ingat: di era informasi berlimpah, konsumen udah males dengan janji mana yang paling keras, tapi solusi paling pas. Karena pada akhirnya, yang diingat orang bukan siapa yang pertama ngomong, tapi siapa yang pertama nyelesain masalahnya.