fbpx

Viral = S3 Marketing? Bongkar Sesat Pikir Viral Marketing yang Bikin Kamu Rugi

June 25, 2025

Di dunia marketing hari ini, viral udah kayak dewa baru. Paling nggak, itu yang terlihat di meeting mingguan bareng klien kata banyak orang haha.

  • “Pokoknya harus viral ya, Mas.”
  • “Bikin yang kayak kemarin tuh, yang rame banget tuh loh!”
  • “Bisa nggak kayak [brand X]? Followers-nya nambah 50K semalam!”

Viral jadi target utama, bukan lagi efek samping dari strategi yang baik.

Padahal — dan ini mungkin sedikit menyakitkan — tidak semua yang viral itu berhasil. Bahkan, ngga sedikit (kan?) yang viral tapi gagal membangun makna.

Kita perlu duduk sebentar, ngopi, dan merenung: Apakah viral marketing benar-benar jalan ninja menuju ke puncak? Atau... ini cuma bentuk lain dari S3 Marketing: Sensasi – Sebentar – Selesai?

Kenapa Semua Orang Pingin Viral Marketing?

Secara sederhana, viral marketing itu taktik distribusi konten yang dibuat agar menyebar cepat, luas, dan (semoga) berkesan.

Konten ini biasanya:

  • Mengandung kejutan
  • Mengundang reaksi
  • Punya daya share tinggi
  • Kadang, tidak butuh terlalu banyak biaya (kalau beruntung)

Dan tentu saja, ini menggoda.

Bayangkan: kamu bikin 1 video lucu, terus masuk FYP di mana-mana, di-recreate, dan seminggu kemudian jadi benchmark. Boom! Instant fame.

Masalahnya?

Mungkin kalau boleh bilang, sama seperti kembang api—meledak, ramai, indah, lalu... hilang.

Kita tepuk tangan, tapi bentar lagi bakal lupa bentuknya, karena kembang api berikutnya ngga kalah menarik. Audiens gagal memaknai pesannya.

Sesat Pikir: Viral = “Campaign-nya Berhasil Mas!”

Ini adalah kesalahan logika yang paling sering kita temui di Zoom/Gmeet bareng klien.

Begitu konten viral dan angka impresi melonjak, semua langsung merasa campaign-nya sukses.

Kadang bahkan lebih ekstrim:

FYP dijadikan KPI.

Bukan awareness terukur. Bukan brand recall.

Tapi… “bikin rame.” Titik.

Wait, wait, wait, bukan Akarmula sebel & bilang kalau jadi viral itu sama sekali buruk.

Cuma, ada pertanyaannya perlu dijawab:

“Apa yang sebenarnya berhasil?”

Karena viral bisa cuma berarti banyak orang melihat — bukan banyak orang memahami, percaya, atau bahkan peduli.

Sama seperti video campaign yang ramai dibagikan karena lucu atau absurd. Ketika ditanya, “Ini campaign tentang apa ya sebenernya?” — semua orang diam.

Need to Consider Viral Marketing

Apa yang harus diingat sebelum kamu mengincar jutaan views?

Sebelum menekan tombol “upload” sambil berdoa semoga kontennya meledak, ada baiknya duduk sebentar, tarik napas, dan melihat ini lewat sudut pandang yang lebih rapih.

Viral bukan tujuan. Viral adalah konsekuensi dari konten yang tertentu, dalam konteks tertentu, yang tertanam pada motif manusia tertentu.

Bukan sekadar "lucu", "unik", atau "aneh". Inilah yang dijelaskan oleh Jonah Berger — profesor pemasaran dari Wharton — dalam bukunya Contagious.

Sesuatu Viral Punya Pola Emosional & Sosial

Menurut Berger, konten yang menyebar luas memiliki karakteristik tertentu yang dia rangkum dalam framework STEPPS:

  1. Social Currency: Orang ingin terlihat pintar, update, & spesial
  2. Triggers: Konten mudah diingat dan muncul di momen sehari-hari
  3. Emotion: Emosi yang intens — terutama kagum, marah, senang
  4. Public: Mudah dilihat dan ditiru orang lain
  5. Practical Value: Membantu orang (tips, lifehack, insight berguna)
  6. Stories: Dikemas dalam narasi, bukan sekadar info acak

Jadi, viral yang bermakna bukan asal heboh, tapi bagaimana sebuah strategi viral marketing bisa menjawab:

  1. Apa nilai sosial yang dibawa konten ini? Apakah orang akan terlihat lebih bijak, keren, atau “relatable” ketika membagikannya?
  2. Apakah ini memicu emosi yang tepat? Lucu itu bagus. Tapi apakah bisa menghadirkan rasa kagum, tersentuh, atau tercerahkan?
  3. Apakah ini punya hubungan dengan kehidupan sehari-hari? Apakah ada momen, kebiasaan, atau rutinitas yang bisa jadi pemicu konten ini muncul kembali di kepala audiens?
  4. Apakah kontennya bisa dikenang karena ceritanya, bukan efeknya? Viral marketing yang bagus bukan soal format, tapi soal narasi.

Formula ini udah pernah Akarmula rangkum dalam 1 dokumen yang bisa kamu download gratis. Cek di sini ya!

Masalahnya, Brand Kadang Melupakan Unsur Ini

Konten viral bisa terjebak dan gagal mempertahankan makna karena:

  • Tidak punya social currency (apa yang dibagikan hanya lucu sesaat, bukan memperkaya status sosial orang yang membagikannya)
  • Tidak punya trigger yang relevan dengan konteks audiens
  • Hanya memainkan emosi lemah (seperti lucu yang cepat hilang), bukan emosi tinggi seperti kagum, marah, haru
  • Tidak memberikan practical value apa pun
  • Tidak dikemas dalam cerita yang utuh

Makanya sering kita lihat:

Konten viral brand lucu banget. Semua ketawa. Tapi 3 hari kemudian… orang lupa siapa brand-nya.

Conclusion

Jonah Berger membuka mata kita bahwa viral itu bukan asal heboh atau ngikutin ombak, tapi hasil dari memahami manusia.

Viral bisa jadi alat luar biasa untuk brand. Tapi, sebelum menargetkan “1 juta views ya mas!”, ada 1 pertanyaan yang perlu dijawab:

"Apakah satu orang saja akan mengingat pesan ini seminggu dari sekarang… dan merasa terbantu?"

Viral bikin kamu dikenal, makna bikin kamu dikenang. Pinter-pinter kombinasikannya, ya!

More Insights

All Right Reserved © 2025 Akarmula
arrow-down
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram