Di dunia marketing hari ini, viral udah kayak dewa baru. Paling nggak, itu yang terlihat di meeting mingguan bareng klien kata banyak orang haha.
Viral jadi target utama, bukan lagi efek samping dari strategi yang baik.
Padahal — dan ini mungkin sedikit menyakitkan — tidak semua yang viral itu berhasil. Bahkan, ngga sedikit (kan?) yang viral tapi gagal membangun makna.
Kita perlu duduk sebentar, ngopi, dan merenung: Apakah viral marketing benar-benar jalan ninja menuju ke puncak? Atau... ini cuma bentuk lain dari S3 Marketing: Sensasi – Sebentar – Selesai?
Secara sederhana, viral marketing itu taktik distribusi konten yang dibuat agar menyebar cepat, luas, dan (semoga) berkesan.
Konten ini biasanya:
Dan tentu saja, ini menggoda.
Bayangkan: kamu bikin 1 video lucu, terus masuk FYP di mana-mana, di-recreate, dan seminggu kemudian jadi benchmark. Boom! Instant fame.
Masalahnya?
Mungkin kalau boleh bilang, sama seperti kembang api—meledak, ramai, indah, lalu... hilang.
Kita tepuk tangan, tapi bentar lagi bakal lupa bentuknya, karena kembang api berikutnya ngga kalah menarik. Audiens gagal memaknai pesannya.
Ini adalah kesalahan logika yang paling sering kita temui di Zoom/Gmeet bareng klien.
Begitu konten viral dan angka impresi melonjak, semua langsung merasa campaign-nya sukses.
Kadang bahkan lebih ekstrim:
FYP dijadikan KPI.
Bukan awareness terukur. Bukan brand recall.
Tapi… “bikin rame.” Titik.
Wait, wait, wait, bukan Akarmula sebel & bilang kalau jadi viral itu sama sekali buruk.
Cuma, ada pertanyaannya perlu dijawab:
“Apa yang sebenarnya berhasil?”
Karena viral bisa cuma berarti banyak orang melihat — bukan banyak orang memahami, percaya, atau bahkan peduli.
Sama seperti video campaign yang ramai dibagikan karena lucu atau absurd. Ketika ditanya, “Ini campaign tentang apa ya sebenernya?” — semua orang diam.
Apa yang harus diingat sebelum kamu mengincar jutaan views?
Sebelum menekan tombol “upload” sambil berdoa semoga kontennya meledak, ada baiknya duduk sebentar, tarik napas, dan melihat ini lewat sudut pandang yang lebih rapih.
Viral bukan tujuan. Viral adalah konsekuensi dari konten yang tertentu, dalam konteks tertentu, yang tertanam pada motif manusia tertentu.
Bukan sekadar "lucu", "unik", atau "aneh". Inilah yang dijelaskan oleh Jonah Berger — profesor pemasaran dari Wharton — dalam bukunya Contagious.
Menurut Berger, konten yang menyebar luas memiliki karakteristik tertentu yang dia rangkum dalam framework STEPPS:
Jadi, viral yang bermakna bukan asal heboh, tapi bagaimana sebuah strategi viral marketing bisa menjawab:
Formula ini udah pernah Akarmula rangkum dalam 1 dokumen yang bisa kamu download gratis. Cek di sini ya!
Konten viral bisa terjebak dan gagal mempertahankan makna karena:
Makanya sering kita lihat:
Konten viral brand lucu banget. Semua ketawa. Tapi 3 hari kemudian… orang lupa siapa brand-nya.
Jonah Berger membuka mata kita bahwa viral itu bukan asal heboh atau ngikutin ombak, tapi hasil dari memahami manusia.
Viral bisa jadi alat luar biasa untuk brand. Tapi, sebelum menargetkan “1 juta views ya mas!”, ada 1 pertanyaan yang perlu dijawab:
"Apakah satu orang saja akan mengingat pesan ini seminggu dari sekarang… dan merasa terbantu?"
Viral bikin kamu dikenal, makna bikin kamu dikenang. Pinter-pinter kombinasikannya, ya!