Pernah ngerasa capek karena harus terus jadi "muka" buat brand-mu sendiri? Harus muncul di depan kamera, mikirin konten personal, padahal yang kamu pengen: ngembangin produk & tim. Kalau iya, kamu nggak sendirian. Dan mungkin sudah waktunya kenalan sama: faceless branding.
Let’s go!
Key Takeaways:
“Kalau kamu founder, ya harus jadi wajah brand kamu dong.”
“Orang beli tuh karena kamu, bukan produknya.”
“At least bikin konten deh, biar kelihatan manusia.”
Kalimat-kalimat ini kedengeran familiar nggak? Wajar, kita tumbuh dalam budaya startup yang idolizing the genius founder—Steve Jobs, Elon Musk, sampai YouTuber bisnis lokal yang rajin bagi-bagi kisah sukses pribadi. Akhirnya muncul stigma: kalau nggak muncul, berarti kamu nggak serius bangun brand.
Tapi, coba kita berhenti sebentar & berpikir ulang, ada brand yang followers-nya puluhan ribu, produknya dicari, komunitasnya aktif banget, tapi nggak ada satu pun orang tahu siapa founder/brand ownernya.
Dan anehnya? Brand itu tetap dipercaya. Tetap disukai. Tetap laku. Berarti apa? Mungkin kehadiran itu nggak selalu harus visual (muka secara khususnya). Dan mungkin, sisi manusia dalam brand bisa muncul bukan dari wajah foundernya, tapi dari karakter, narasi, dan nilai yang dijaga konsisten.
Brand yang sukses tanpa wajah founder bukan berarti dingin atau impersonal. Justru, mereka memanfaatkan brand personality dan archetype untuk membangun koneksi.
Framework arketipe dari Carl Jung misalnya, menunjukkan bahwa brand bisa berbicara seperti manusia: ada yang suportif (The Caregiver), cerdas (The Sage), berani (The Hero), atau santai dan lucu (The Jester).
Yang penting bukan siapa yang bicara, tapi bagaimana brand itu bicara secara konsisten di setiap touchpoint—dari konten, pelayanan, sampai cara balas komen.
Bisa dibilang banyak—bahkan banget. Tapi coba Akarmula kerucutin dari yang mungkin kamu pernah denger nama brandnya, ya!
Dalam branding, brand voice ini tentang pesan apa yang ingin sebuah brand suarakan. Sedangkan tone-of-voice adalah tentang cara brand menyampaikannya. Pesan yang diulang dengan penyampaian yang konsistensi bakal numbuhin trust dan kedekatan emosional.
Tanpa wajah founder, audiens tetap dapat merasakan "kehadiran" brand melalui gaya bahasa dan nada komunikasi yang khas.
Prinsip founder well-being kini menjadi perhatian dalam literatur kewirausahaan. Dan, kita semua tahu kalau nongol di depan kamera ngga semua orang PD & bisa. Ketika mereka ngga nyaman melakukannya karena memang terbatas, udah barang pasti mereka akan merasa kelelahan.
Dengan faceless, energi bisa difokuskan untuk membangun sistem, tim, dan inovasi—alih-alih produksi konten personal secara terus-menerus.
Kalau ngomongin funnel paling bawah, yaitu action (transaksi), menurut surver dari Edelman Barometer tahun 2022 bilang kalau ada banyak hal yang memengaruhi keputusan pembelian, yaitu respons brand terhadap peristiwa sosial, termasuk pandemi (48%), inflasi yang meningkat (42%), perubahan iklim (32%), dan invasi Rusia ke Ukraina (29%).
Dalam aspek strategis bisnis, brand yang tidak terlalu melekat pada satu individu cenderung lebih mudah dialihkan, diwariskan, atau dijual. Ini penting dalam skenario ekspansi atau pencarian investor jangka panjang.
Dalam sebuah jurnal, brand storytelling memungkinkan brand untuk membangun hubungan emosional yang mendalam dengan konsumen, memanusiakan brand, numbuhin kepercayaan, & menciptakan loyalitas, yang pada akhirnya memengaruhi cara orang memandang & berinteraksi dengan brand tersebut.
Pada akhirnya, yang bikin brand disukai bukan semata siapa yang tampil di layar—tapi apa yang brand perjuangkan dengan konsisten.
Jadi, pertanyaannya bukan lagi:
“Harus muncul atau nggak?”
Tapi:
“Kalau brand kamu bisa bicara, dia akan bicara seperti apa?”