Bayangkan ini: kamu baru saja merakit sebuah rak buku dari IKEA. Butuh waktu satu jam lebih, manualnya bikin bingung, beberapa baut sempat kamu pasang terbalik. Tapi pas rak itu berdiri tegak di sudut ruangan, rasanya puas banget. Dan anehnya, kamu merasa rak itu lebih bagus dari rak-rak lain yang tinggal beli jadi. Ini yang disebut IKEA Effect—fenomena psikologis di mana orang memberikan nilai yang lebih tinggi pada sesuatu karena mereka berkontribusi dalam membuatnya. Bahkan kalau hasilnya ngga sempurna.
Dah, yuk kita bahas mendalam di artikel ini!
Key takeaways:
Oke, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh para peneliti Harvard, Yale, & Duke—Michael Norton, Daniel Mochon, & Dan Ariely. Dalam salah satu eksperimen, mereka meminta partisipan membuat beberapa percobaan DIY. Hasilnya? Partisipan menilai karya mereka sendiri jauh lebih berharga dibanding karya buatan orang lain.
Logika ekonominya? Mungkin terasa ngga jalan. Tapi secara emosional? Bisa jadi masuk akal. Karena dalam setiap baut yang diputar dan kertas yang dilipat, tersimpan usaha, waktu, dan sedikit harga diri.
IKEA Effect ini bisa bilang sebagai fenomena di mana orang cenderung menilai sesuatu yang ketika dia terlibat, valuenya akan meningkat.
Efek ini ngga cuma terjadi di toko furnitur itu. Beberapa brand lains nyatannya sering banget bersinggungan sama fenomena ini secara sengaja maupun enggak.
LEGO ini ngga cuma menjual mainan. LEGO menjual pengalaman “creating”. Rasa memiliki tidak hanya datang dari kepemilikan fisik, tetapi dari perjalanan membangun—entah itu kastil, robot, atau kota. Bahkan orang dewasa membeli LEGO sebagai terapi kreatif.
Ini tuh kayak “menanamkan” sebagian dari dirinya ke hasil akhir.
Nike ngasih calon pembelinya kebebasan memilih warna, elemen desain, dan bahkan tulisan khusus. Jadinya, sepatu yang dihasilkan bukan sekadar alas kaki—tapi ekstensi identitas si pengguna nantinya. Orang jadi lebih terikat karena produk itu “tidak ada duanya” alias cuma punya dia doang.
Ngga sekadar bikin pelanggan “ikut campur”, tapi bikin mereka merasa hasil akhirnya adalah milik mereka.
IKEA Effect sebenernya bisa dimanfaatkan secara sistematis untuk membangun nilai psikologis dalam produk, ningkatin retensi, dan bahkan memperbesar willingness to pay. Tapi efek ini tidak muncul begitu saja. Perlu didesain dengan struktur partisipasi yang cermat.
5 pendekatan ini cukup praktikal, kamu perlu mencobanya:
Tentu tujuannya bukan menyulitkan, tapi bikin pelanggan merasa berkontribusi.
Contoh aktivasi (buat brand parfum misalnya):
Coba buat sebuah journey di mana pelanggan beneran create scent yang “dia banget”. Ini bisa dari awal pelanggan diajak elaborasi karakter mereka, pilih campuran scent, sampai ngasih nama ke parfum yang mereka bikin.
Why it works: Mikro-effort menciptakan investasi emosional yang memperkuat rasa memiliki.
Semakin pelanggan menyentuh bagian akhir dari pengalaman, semakin besar nilai personalnya.
Contoh aktivasi (buat brand F&B misalnya):
Kirim paket bahan setengah jadi (misalnya ricebowl, ramen, atau salad artisan), lalu coba challenge mereka untuk plating & finishing touch.
Si pelanggan mungkin cuma menyelesaikan 10% akhir, tapi efek ownership-nya besar karena hasil akhir visual dan rasa jadi hasil mereka sendiri. Sense of pride dapet, engagement-nya juga dapet.
Tracking → perasaan tumbuh → makin terikat.
Contoh aktivasi (untuk brand makanan sehat misalnya):
Pelanggan ngga bikin dari nol, tapi:
Ngga semua brand dengan produknya bisa secara langsung memanfaatkan strategi tadi. Coba cek kesiapan bisnismu untuk aktivasi IKEA Effect:
IKEA Effect bukan cuma soal terjadi waktu kita beli produk IKEA lalu merakitnya—ini tentang rasa kepemilikan yang dibangun. Pelanggan yang merasa punya andil dalam hasil akhirnya, mereka bukan hanya membeli produk, mereka membeli pencapaiannya sendiri. Di situlah value yang unik tercipta.