Seperti yang kita tahu, teknik storytelling dalam branding diyakini bisa mempengaruhi pengambilan keputusan para pelanggan potensial saat berbelanja.
Tapi teknik storytelling seperti apa yang dimaksud?
Sering kita dengar orang menggunakan term storytelling, tapi ternyata waktu kita pahami lebih lanjut, maksud orang tersebut adalah sekedar telling a story.
Yes, storytelling dan sekedar telling a story adalah dua hal yang berbeda.
Sebelum memicu pertikaian, coba saya jelasin terlebih dahulu maksud dari Storytelling ≠ Sekedar Telling a Story.
Sekedar Telling a Story
Hari ini aku abis dari pantai, makan seafood bareng keluarga. Seafoodnya enak, ada kepiting besar-besar dan dagingnya gurih banget. Dicocol saus lada hitam, bikin tambah enak lagi.
Barusan adalah contoh dari “sekedar telling a story”. Sama sekali gak menarik kan?
Storytelling
Buat yang lahir tahun 90’an, pasti ingat kalau hari Minggu pagi banyak film anime ditayangin di TV?
Setelah kita selesai nonton, keesokan harinya di hari Senin kita berangkat sekolah. Di sekolah kita bakal cerita anime apa aja yang kita tonton. Ceritanya ke siapa? Ke teman yang suka anime yang sama.
Terasa kan bedanya?
Sekedar Telling a Story ya kita cuma cerita aja gitu. Tanpa peduli lawan bicara kita tertarik atau gak sama cerita kita. Sedangkan Storytelling kita hanya akan bercerita pada orang yang peduli dengan apa yang kita bicarakan.
Teknik storytelling dalam branding melibatkan empati. Itu yang membuatnya berbeda dari sekedar bercerita saja.
Seperti yang kita tahu, mau itu branding, marketing, selling, semua pasti dimulai dengan memahami karakteristik ideal target market (prospek) kita.
Memahami ideal target market juga ada tekniknya. Ketika diterapkan, kita bakal mendapatkan data tentang demografi dan psikografi ideal target market. Lebih dalam lagi, kita tau fear dan desire mereka apa.
Data-data tersebut yang akan kita gunakan untuk menyusun teknik storytelling dalam branding.
Kalau kita sukses memetakan data demografi dan psikografi lawan bicara, selanjutnya rumus storytelling di atas dapat dengan mudah kita isi.
Contoh:
Ideal target market kita adalah ibu rumah tangga yang ingin mendapatkan penghasilan ekstra tanpa harus keluar rumah.
Secara demografi, ibu rumah tangga ini usianya berapa sih, pendapatan personal bulanan dia berapa, pendapatan rumah tangganya berapa, dan lain sebagainya.
Secara psikografi, bagaimana preferensinya tentang rumah, barang-barang yang dipakai, tentang tumbuh-kembang anak, kalau weekend dia suka ngapain sih.
Yang pasti kita perlu mengungkap, apa yang membuat dia khawatir dan jadi masalah dalam hidupnya. Catat kira-kira kenapa ya ibu rumah tangga ini ingin mendapat penghasilan lebih. Apa yang membuat dia harus mengambil keputusan itu.
Dengan memanfaatkan formula storytelling yang tadi, kita jadi lebih mudah jodohin apa yang kita bisa berikan (produk / layanan) untuk menyelesaikan masalah ideal market kita.
Let’s say kita bisa tawarkan program dropshipping atau reselling untuk si ibu ini. Semua marketing kit kita yang atur, si ibu rumah tangga tinggal aktif melakukan penawaran aja.
Kita juga bisa sesuaikan apa yang bisa diberikan dari bisnis kita, supaya semakin mendukung ibu rumah tangga tadi mencapai tujuan yang diinginkan.
Kunci untuk menyusun teknik storytelling dalam branding itu adalah melakukan segala sesuatu penuh dengan empati.
Kita sebagai founder brand harus paham betul bagaimana memposisikan diri sebagai ideal target market kita. Apa yang bikin mereka nyaman, kita berikan. Apa yang bikin mereka gak nyaman, kita hilangkan.
Selamat menjadi storyteller yang baik!