fbpx

Tide Pods & Viral Challenge: Brand Case Study tentang Inovasi Berujung Tragedi

July 25, 2025

Brand case study kali ini bikin kita aware, produk inovatif ternyata ibarat pisau dapur: sangat berguna, tapi tetap bisa melukai kalau digunakan (atau dipersepsikan) secara keliru. Seperti Tide Pods — kapsul deterjen kecil & menggemaskan, yang awalnya dirancang untuk menyelamatkan kita dari drama menuang sabun terlalu banyak. Tapi kenyataannya, mereka justru berakhir sebagai meme & korban viral challenge yang bikin kita geleng kepala.

Jadi pertanyaannya: bagaimana sesuatu yang seharusnya membantu jadi sumber masalah? Mari kita kulik kasus Tide Pods, bukan untuk menertawakan blunder, tapi untuk belajar. Karena di balik semua meme dan kontroversi, ada pelajaran penting tentang desain, branding, dan batas-batas inovasi.

Cerita Awal & Inovasinya

Source: wikipedia.com

Tide Pods diluncurkan oleh Procter & Gamble pada 2012. Tujuannya sederhana & masuk akal: membuat proses mencuci lebih praktis. Alih-alih menuang deterjen cair dan berisiko kebanyakan, pengguna cukup menjatuhkan satu kapsul ke dalam mesin cuci. Satu langkah, beres.

Desain kapsulnya transparan, penuh warna cerah, & kelihatan clean. Berharap kita akan punya persepsi produknya terasa modern, smart, clean. Masuk akal. Tapi sayangnya, logika desain tak selalu beriringan dengan logika persepsi publik. Di luar sana, ada anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa yang justru melihat kapsul itu dan berpikir, “Hmm... jelly bean?”

Ketika Desain Visual Jadi Masalah

Sejak peluncurannya, Tide Pods sudah memicu kekhawatiran. Bentuk dan warnanya terlalu mirip makanan. Antara 2012–2013, lebih dari 7.000 kasus anak-anak menelan kapsul deterjen ini dilaporkan. Beberapa bahkan berujung fatal. P&G merespons dengan langkah-langkah yang masuk akal: mengubah kemasan jadi buram, menambahkan zat pahit, dan pengaman ganda.

Namun cerita belum berakhir. Internet, tempat segala hal bisa jadi candaan atau tantangan, membawa Tide Pods ini ke arc baru. Meme-meme bermunculan. Anak-anak remaja mulai mengunggah video mencoba memakan Tide Pods, & lahirlah Tide Pod Challenge.

Viral Challenge & Krisis yang Ngga Disangka

Awalnya mungkin lucu. “Siapa sih yang beneran mau makan sabun?” Tapi kenyataannya seperti itu.

Akhir 2017 hingga awal 2018, kasus konsumsi pods melonjak. Dalam 3 minggu pertama Januari 2018 saja, 86 remaja dilaporkan mencoba memakan kapsul deterjen. Video mereka menyebar cepat di social media. Konsumen remaja jadi aktor utama. Tapi bukan karena kebutuhan cuci baju, melainkan karena kebutuhan eksistensial: views dan likes.

Brand Case Study—Analisis Desain

Dari perspektif desain, Tide Pods adalah produk yang berhasil — sampai kita menyadari bahwa desain juga bisa disalahartikan. Di sinilah letak pentingnya design foresight.

Proses design thinking idealnya dimulai dari empati. Tapi empati terhadap siapa? Dalam kasus ini: fokus pada pengguna utama (orang dewasa yang mencuci), tapi mengabaikan kemungkinan audiens lain yang tak kalah berpengaruh — anak kecil, remaja, dan... algoritma internet.

Visual storytelling yang kuat, jika tidak dikelola, bisa berubah menjadi senjata yang sudah dikendalikan.

Respons Brand—Cukup Cepat, Tapi Terasa Dangkal

Ketika semuanya sudah telanjur viral, Procter & Gamble tidak tinggal diam. Mereka meluncurkan kampanye edukatif. Salah satunya melibatkan Rob Gronkowski, atlet football yang memerankan iklan "NO. NO. NO." — sebuah upaya ringan untuk menyampaikan pesan serius.

Platform seperti YouTube dan Facebook mulai menghapus konten Tide Pod Challenge. P&G juga bekerja sama dengan lembaga keamanan dan poison control. Secara teknis, ini adalah krisis komunikasi yang ditangani dengan cukup baik. Tapi sebagian orang menganggap tone-nya terlalu ringan. Dalam dunia branding, nada bicara bisa menentukan apakah publik menganggapmu peduli... atau panik.

Pelajaran Penting untuk Produk Inovatif

Ada satu prinsip yang jarang ditulis di buku design thinking terlalu besar menaruh fokus pada solusi namun tidak pada prediksi.

Tide Pods memberi kita pengingat bahwa:

  • Desain harus mempertimbangkan seluruh ekosistem sosial, bukan hanya segmen target.
  • Produk yang indah bisa menjadi bumerang jika konteks penggunaannya tidak dipetakan dengan cermat.
  • Dunia digital mempercepat misuse menjadi meme. Dan dari sana, persepsi publik berubah.

Desain memang harus human-centered. Tapi manusia modern hidup dalam sistem yang kompleks — sosial, digital, emosional.

Closing

Inovasi adalah hal baik. Tapi kayanya kita perlu cukup siaga tentang gimana manusia menafsirkan, memelintir, dan memviralkan sebuah produk. Karena dari sini, ketika lengah bisa jadi masalah.

Ketika inovasi diciptakan, sama artinya kamu juga melepaskannya ke dunia. Dan dunia — terutama dunia internet — tidak pernah kehabisan cara untuk membuat hal sederhana jadi luar biasa rumit, haha.

Begitulah guys brand case study kali ini. Semangat untuk semua orang yang terlibat dalam R&D. Tapi jangan lupa, sesekali... cek ulang: apakah produkmu terlalu mirip camilan? Heheh.

More Insights

All Right Reserved © 2025 Akarmula
arrow-down
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram